milenialnews.web.id merupakan portal yang dihadirkan untuk melengkapi kebutuhan informasimasyarakat

Search This Blog

Aroma korupsi Proyek Timbangan portable

Timbangan portable Dishub Batanghari disita Polda Jambi
AROMA korupsi tercium dari proyek pengadaan timbang portable di Dishub Batanghari. Alat yang berguna untuk menimbang beban kendaraan yang dibeli menggunakan dana APBD sekitar Rp 382 juta tersebut disita oleh penyidik Polda Jambi, Kamis (24/3).

Diduga penyitaan itu terkait adanya korupsi dalam proses pengadaan barang. Seharusnya, sesuai spesifikasi, timbangan itu adalah buatan Jerman, namun timbangan yang ada sekarang adalah buatan Cina.

Empat orang petugas dari Polda Jambi tiba di Kantor Dinas Perhubungan Batanghari menggunakan mobil Avanza bernopol D 1794 ML pukul 13.20. Mereka yang mengenakan pakaian preman itu langsung menuju ruangan kepala dinas, namun hanya bisa disambut oleh staf kantor, karena kadis masih di luar kota.

Staf yang menerima mereka di ruangan itu terlihat panik. Beberapa kali mereka keluar masuk ruangan mencari sesuatu, namun enggan menjawab pertanyaan sejumlah wartawan yang menunggu di depan ruangan. Mereka juga terlihat sibuk menghubungi pejabat dinas itu, hingga akhirnya Kadis Perhubungan Hermanto, tiba sekitar pukul 14.30 WIB.

Pantauan Tribun, penyidik meneliti barang- barang yang ditunjukkan oleh pegawai dishub. Selama tiga jam penyidik berada di ruangan itu, menyampaikan pertanyaan dan mengecek barang yang diduga bermasalah itu. Sekitar pukul 16.30, semua barang itu dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

"Barang ini untuk sementara kami sita dan bawa ke Polda Jambi untuk tujuan penyidikan,” kata AKP Iskandar satu di antara polisi dari polda kepada Tribun saat memasukkan benda itu ke dalam mobil. Namun ditanya kasusnya, ia enggan mengungkapkannya.  Kalau itu tanya ke kantor saja,” katanya.

Ia menyebut satu set timbangan portable itu merupakan barang bukti yang dibutuhkan polisi untuk mengungkap kasus itu.  Ini sebagai barang bukti saja. Dokumen-dokumennya sudah kami ambil sebelum ini,” kata pria berkumis itu. Namun isi dokumen yang mencurigakan penyidik, ia tidak menyebutkan.

Dalam waktu dekat ini, ia mengatakan polda akan melakukan pemanggilan terhadap pihak- pihak yang terkait dengan proyek pengadaan timbangan portable tersebut.  Termasuk pengguna anggaran dan kontraktornya,” ujarnya.

Timbangan protable itu merupakan timbangan yang bisa dibongkar pasang. Seorang sumber Tribun di Dinas Perhubungan Batanghari mengatakan kasus yang sedang diusut oleh polda itu terkait nilai proyeknya yang diduga terlalu besar (mark up) serta barang yang disampaikan tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang ditenderkan.

Sumber menyebut barang yang diharapkan oleh Dinas Perhubungan Batanghari dengan nilai proyek Rp 382 juta itu adalah timbangan buatan Jerman, namun barang yang disampaikan oleh rekanan ternyata barang buatan Cina.  Spesifikasi dan daya tahannya berbeda,” kata sumber tersebut.

Kadis Perhubungan Batanghari, Hermanto, mengakui barang yang dibawa tim dari Polda itu merupakan barang buatan Cina.  Mereknya Chang An,” kata Hermanto. Namun ia mengaku tidak tahu apakah barang merek itu yang diminta Dishub atau tidak.

"Saya kurang paham masalahnya, saya baru menjabat bulan ini. Masalah sebelum saya menjabat kurang saya pahami,” kata mantan Kabid di Dinas PU itu. Sebelum disita dan dibawa ke polda, ia mengatakan sebelumnya penyidik dari polda juga sudah datang kesana dan menemuinya. Saat itu, katanya, polisi hanya memeriksa alat tersebut.  "Sebelum tadi dibawa, mereka periksa lagi apakah sama dengan yang mereka lihat sebelumnya,” katanya.

Terkait penggunaan alat itu selama ini, Hermanto mengatakan berdasarkan informasi yang didapatnya dari anak buahnya, alat itu sudah pernah dipakai beberapa kali. "Digunakan saat operasi muatan angkutan barang. Tapi sejak saya menjabat alat itu belum pernah saya gunakan,” ujarnya.

Namun sumber Tribun mengatakan timbangan itu sama sekali belum pernah digunakan sejak dibeli. Hingga dibawa oleh polda, katanya, timbangan itu di dalam ruangan, dan masih terbungkus rapi.

Kabid Humas Polda Jambi AKBP Almansyah mengatakan penyitaan itu terkait kasus korupsi yang sedang disidik oleh Polda Jambi. "Memang benar dilakukan penyitaan di dinas perhubungan terkait korupsi proyek tahun 2010," kata Almansyah.

Terkait penyitaan 1 set timbangan portable itu, polisi segera mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke kejaksaan. Menurutnya penyitaan terkait ketidaksesuaian jenis barang dengan standar yang ditetapkan. (ang/dun)

laporan suang sitanggang untuk Tribun Jambi.
Link: http://jambi.tribunnews.com/2011/03/25/produk-jerman-diganti-buatan-cina

Menghisap Payudara Selamatkan Perempuan dari Kanker?

net
RIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada hari Sabtu (19/3/2011) telah tersiar dari BlackBerry Messenger (BBM), mengenai cara pencegahan payudara. Dalam BBM tersebut mengatakan kanker payudara bisa dicegah jika terus dihisap oleh pasangannya.
Dalam BBM tersebut, data tersebut diambil dari situs berita internasional BBC dan Departemen Kesehatan dari Inggris. Berikut isi BBM untuk mencegah kanker payudara dengan cara menghisap.

Dalam waktu dekat mungkin akan ada wanita yang mau membayar orang terutama pria untuk menghisap payudara mereka?

Dalam Beranda BBC Top News Story: Dokter menyarankan bahwa payudara wanita yg disedot secara teratur akan sangat bagus untuk mengurangi risiko terkena kanker payudara.

Dikatakan pula bahwa pengisapan payudara secara teratur akan menurunkan tingkat risiko yang cenderung menyebabkan berkembangnya kanker payudara. Payudara harus disedot sesering mungkin, hal ini dipercaya akan membantu perempuan melawan kanker payudara.

Bagi para pria, silakan melakukan bagian Anda, dan mulailah menghisap payudara wanita sekarang dan bagi para wanita silakan saja memulai terapi ini dan mempersilakan pasangan Anda untuk melakukan tugasnya tentunya anda harus merelakan hal itu !!!

Pesan ini dibuat oleh Departemen Kesehatan Inggris dengan tema "Melawan Kanker Payudara". Kalau Anda percaya pada hasil penelitian ini maka ( para pria ) jujurlah bahwa anda tentunya akan senang maka patuhilah hasil penelitian ini.

Kalau perlu Anda bisa dengan rendah hati mengajukan diri untuk membantu para wanita demi membantu para wanita itu untuk menyelamatkan nyawanya dari ronrongan kanker. Bolehlah Anda mengirim ini ke semua orang yang bertanggung jawab dan kepada para wanita agar bisa menyadari risiko tinggi ini. Ini entah benar atau tidak.

link http://www.tribunnews.com/2011/03/19/benarkah-menghisap-payudara-selamatkan-perempuan-dari-kanker

Tiap Bulan 100 Hektar Hutan Rertorasi Charles Dibabat

Laporan Wartawan Tribun Jambi, Suang Sitanggang

PERAMBAHAN hutan di Provinsi Jambi masih terus berlanjut, bahkan semakin parah. Tak terkecuali yang berada dalam wilayah konsesi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki), kawasan hutan restorasi yang diresmikan Pangeran Charles pada 2008 lalu, masih menjadi target para perambah.

Isbeihel, Polhut Dinas Kehutanan Batanghari yang turun bersama Tribun melakukan pemantauan di areal restorasi di wilayah Kabupaten Batanghari mengatakan, pihaknya mendapati hutan di areal itu telah dibuka dan dikonversi oleh warga menjadi areal perkebunan.

"Pembukaan hutannya ada yang dengan cara membabat, dan tak jarang juga dengan cara membakar. Umumnya mereka menanam kelapa sawit di areal itu," katanya kepada Tribun, Jumat (4/3).

Berdasarkan data yang diperoleh dari PT Reki, sekitar 100 hektare areal hutan restorasi itu dibabat tiap bulan. Perambahan marak terjadi sejak tahun 2006, tepatnya setelah Asialok yang sebelumnya menjadi pemegang HPH meninggalkannya. Lokasi perambahan berada di beberapa titik.

"Dalam setahun terakhir luas kawasan yang dirambah sudah mulai berkurang dibandingkan tahun 2006-2008. Tapi tetap yang namanya perambahan hutan itu adalah tindakan yang melanggar hukun,” ujar Yusup, petugas Dihut lainnya yang juga ikut melakukan peninjauan di wilayah Kecamatan Bajubang itu.

Link: http://jambi.tribunnews.com/2011/03/07/100-h-hutan-dibabat-perambah-tiap-bulan

Berkunjung ke Desa Terluar di Batanghari

Desa terpencil tak berarti penduduknya harus hidup dalam kemiskinan. Desa-desa terluar yang kerap terlupakan dalam sketsa pembangunan itu tak jarang memiliki penghasilan yang luar biasa.
TRIBUN JAMBI/SUANG SITANGGANG

MATAHARI sudah hampir sampai di atas kepala ketika Tribun tiba di Desa Kaos, Kecamatan Pemayung. Butuh waktu sekitar dua jam, untuk bisa sampai di salah satu desa terluar di Kabupaten Batanghari itu. Padahal, jaraknya tidak terlalu jauh dari ibukota Kabupaten Batanghari.

Desa yang dihuni mayoritas suku Jawa itu tidak bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dari Kabupaten Batanghari. Bila ingin sampai di desa itu dengan mengendarai mobil, harus rela keliling dari dari Kelurahan Sekernan (Muaro Jambi) menuju Desa Suak Putat, dan akhirnya sampai di Desa Kaos.

Kondisi itu terjadi lantaran Desa Kaos dan Desa Pulau Raman, desa tentangganya yang sama-sama masih masuk kabupaten Batanghari, berada di seberang Sungai Batanghari. Selama ini, masyarakat di sana harus naik angkutan air bernama Ketek bila ingin menuju ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten.

Belum ada jembatan untuk menyeberangi sungai. Cara satu-satunya kalau kami mau ke Muara Bulian harus naikkan motor ke atas ketek untuk menyeberang. Setelah itu dilanjutkan dengan perjalanan darat. Kalau lewat Desa Suak Sedangkan bila hendak menuju Kota Jambi, mereka lebih memilih lewat Desa Suak Putat, karena akan menghemat pengeluaran dan jaraknya juga lebih dekat.

"Termasuk saat membawa getah karet, selalu kami bawa lewat Suak Putat menuju Jambi. Getah dari dua desa ini selalu dijual ke Jambi," kata Kepala Desa Kaos, A Rahman.

Berapa banyak getah yang dihasilkan penduduk di dua desa yang hampir semuanya petani itu? Kepala desa itu menyebut setiap minggu sekitar 50 ton getah dari kedua desa itu dijual ke Jambi. Bila dikonversikan dengan harga saat ini, hasilnya sekitar Rp 1 miliar.

"Tapi untuk mengeluarkannya dan mengantarkannya ke Jambi kami kesulitan meski lewat jalan darat. Kami harus melewati jembatan pembatas desa ini dan desa suak putat yang panjangnya sekitar 60 meter. Jembatan itu kondisinya sudah tidak bagus lagi,” tuturnya.

Tak hanya itu, kesulitan lain yang mereka alami untuk menghasilkan uang satu miliar rupiah itu adalah infrastruktur jalan di sana yang juga sudah rusak. Jalan itu masih jalan tanah, dan sulit dilintasi saat musim hujan. Getah yang dihasilkan kebanyakan dibawa menggunakan sepeda motor ke jalan utama.

"Namun seperti apapun kondisinya kami tetap bersabar. Masyarakat sekarang sedang tersenyum karena getah karet yang hasilnya sudah sangat baik,” ucapnya. Kesejahteraan masyarakat, tambahnya, juga kini semakin baik. Biarpun PLN belum masuk ke sana, desa itu mulai terang karena sudah ada yang menggunakan mesin genset sebagai sumber arus listrik. "Tapi masih sebagian kecil,” terangnya.

Pendapatan yang sudah cukup baik itu tetap tak bisa membuat masyarakat di sana bisa hidup layaknya orang-orang di kota yang punya pendapatan sebesar itu. Tidak adanya fasilitas listrik yang memadai membuat mereka masih hidup dalam kegelapan di saat malam. "Sekarang yang paling dikeluhkan oleh masyarakat di dua desa ini masalah listrik,” ungkapnya.

Bila membeli genset, katanya, memang masyarakat di sana rata-rata sanggup membelinya. Namun yang menjadi masalahnya adalah biaya besar yang harus dikeluarkan tiap hari untuk membeli minyaknya. "Selain biaya besar, masyarakat juga kesulitan membeli minyak menggunakan galon,” kata Kades. (Suang Sitanggang untuk Tribun Jambi)

Link: http://jambi.tribunnews.com/2011/03/06/berkunjung-ke-desa-terluar-di-batanghari
Datuk Ishak Masih Mahir Berbahasa Jambi - Tribun Jambi

Datuk Ishak Masih Mahir Berbahasa Jambi - Tribun Jambi

Dermawan dan rendah hati. Hartawan namun tidak sombong. Begitulah sosok Datuk Ishak bin Abdul Aziz di mata masyarakat Desa Teluk, Kecamatan Pemayung. Nama warga Malaysia itu begitu harum dan tenar di desa yang berada di pinggir Sungai Batanghari itu dan di desa-desa sekitarnya.
ABDUL Aziz merupakan seorang anggota parlemen di Negara Malasya. Pria berbadan besar dan tinggi itu menjadi salah seorang seorang pemimpin di Partai Umno, sebuah partai besar di negara yang sering konflik dengan Republik Indonesia itu.

Namun siapa sangka, orang tenar dan berpengaruh di Malaysia itu ternyata punya pertalian dara yang sangat kental dengan Indonesia, khususnya Provinsi Jambi. Ayahnya lahir, tumbuh dan besar Jambi pada zaman penjajahan Hindia Belanda.

"Ayahnya yang bernama Datuk Abdul Aziz itu tangan kanan Sultan Thaha, pemimpin Kerajaan Jambi,” kata Sayuti, Kepala Desa Olak Rambahan, yang masih punya pertalian darah dengan Datuk Ishak. Namun sebelum Indonesia merdeka, sambungnya, Abdul Aziz sudah bermukim dan menetap di negeri Jiran itu.

Ishak lahir dan besar di Malaysia, dan akhirnya memilih berkarir di negara bekas jajahan Inggris itu. Anak-anaknya juga semua tinggal di sana. Namun ada hal besar yang sangat dibanggakan masyarakat dusun tempat lahir ayahnya, yang jarang ditemui pada diri orang lain, yaitu Ishak tak lupa tanah leluhurnya.

"Beliau sangat sering datang dan berkunjung ke dusun. Kalau datang juga dia tidak sendirian, tapi selalu membawa Istri dan anak-anaknya. Datuk itu mungkin mengajarkan supaya anak-anaknya juga tak lupa dengan tanah leluhurnya, meskipun mereka sudah menjadi warga negara Malaysia,” ujar Kepala Desa Teluk Arifa’i kepada Tribun, Senin (28/2).

Terakhir kali, Datuk Ishak bersama keluarganya datang ke desa Teluk tahun 2009 silam. Seperti biasanya, setiap kali datang selalu memberikan  saweran’ kepada warga desa yang datang berkumpul di masjid atau di keluarganya. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, semuanya mendapat jatah rupiah.

"Datuk tak memandang siapa yang datang itu, pokoknya semuanya dibagi uang. Kalau yang kecil dikasih Rp 20 ribu, yang sudah dewasa diberi Rp 100 ribu. Semuanya dapat, tidak ada yang tidak kebagian,” kata pria yang sudah mulai beruban itu seraya menambahkan Ishak sudah belasan kali pulang kampung.

Selain memberikan uang kepada masyakarat, ia juga selalu memberikan bantuan untuk mendirikan masjid yang ada di kampung halamannya itu. Masjid yang kini berdiri megah di perkampungan itu pembangunannya menelan dana tak kurang dari satu miliar rupiah. Sebagian besar dananya, katanya, berasal dari pria yang punya lima orang anak itu.

Setiap kali mengunjungi desanya, Ishak selalu menyempatkan diri untuk berpidato di hadapan warga yang masih saling bertalian darah itu.  Pidatonya selalu menggetarkan, seperti pidato Presiden Sukarno yang sering ditampilkan di televisi. Orang yang datang pasti salut dan bergetar hatinya mendengarkan pidatonya,” kata Ismal, seorang pemuda desa itu yang selalu menemui Ishak saat pulang kampung.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya disebutnya akan menjadi kata-kata yang mampu merangsang orang yang mendengarnya agar bisa berpikir lebih maju dan bercita-cita yang tinggi.  Pidatonya dalam bahasa Jambi. Datuk Ishak masih mahir Bahasa Jambi, tapi logatnya memang sudah logat melayu,” ungkapnya.

Sayuti juga menyebut Datuk Ishak selalu menggunakan Bahasa Jambi ketika bertemu dengan orang Jambi dimana pun, termasuk ketika bertemu di Malaysia. Hal itu dirasakannya langsung ketika dua tahun lalu berkunjung ke rumahnya yang megah di sebuah kota besar di Johor, Malaysia.

"Saya disambut dengan sangat ramah. Bukan pembantu yang disuruhnya menjemput saya di Bandara, tapi anaknya langsung yang disuruhnya,” kata Sayuti tersenyum. Ketika sudah sampai di rumah, Ishak juga menyambutnya dengan ramah,  Dan saya diajak mengobrol dengan bahasa Jambi,” katanya.

Kesalehan hidup seorang terpandang di negeri menara kembar itu, menurutnya sudah jarang ditemui pada diri orang-orang sukses saat ini. Banyak orang-orang yang sudah berhasil menjadi lain tatakrama kehidupannya.  Sekalipun sudah menjadi  warga Malaysia, rasa cintanya kepada Jambi tidak luntur, bisa dilihat dari cara bicaranya itu dan kesediaannya pulang kampung,” ungkapnya. (Suang Sitanggang)
http://jambi.tribunnews.com/2011/03/02/datuk-ishak-masih-mahir-berbahasa-jambi 

Menyusuri Desa di Danau Toba

foto: doc pribadi suang sitanggang
MENGUNJUNGI Medan, Sumatera Utara, terasa belum lengkap sebelum menginjakkan kaki dan menjelajahi desa kecil di Pulau Samosir, Tomok.

Dari Jakarta, dibutuhkan waktu lebih kurang dua jam untuk bisa mencapai Medan, Sumatera Utara. Penerbangan akan terasa nyaman dengan pemandangan yang tersaji dari ketinggian, apalagi ketika pesawat hendak mendarat. Kehijauan pohon-pohon dan deretan kebun kelapa sawit yang terbentang luas terasa menyegarkan dilihat dari ketinggian. Suasana sejuk semakin terasa ketika melihat sungai yang meliuk dengan airnya yang kemilau seperti perak dari ketinggian.

Mendarat di Bandara Udara Internasional Polonia Medan, nuansa tradisi terasa kental. Apalagi, ketika menyaksikan atap gedung bandara ditata ala rumah tradisional Medan, dengan atap tinggi berbentuk segitiga. Sementara jarak Bandara Udara Polonia hingga pusat Kota Medan hanya ditempuh selama lebih kurang sepuluh menit. Objek wisata paling banyak dikunjungi wisatawan domestik juga mancanegara adalah Parapat dengan Danau Toba yang membentang luas sejauh mata memandang.

Menelusuri jalan-jalan Kota Medan pagi hari terasa menyenangkan, dengan deretan bangunan modern layaknya Jakarta. Sama sekali tidak terlihat bangunan tradisional di sepanjang jalan di kota ini. Bahkan, yang cukup mengagetkan adalah munculnya sebuah bangunan berarsitek China, di Jalan Kesawan, mulai dari atap hingga ukiran-ukiran yang terlihat semua kental nuansa China.

Ternyata, bangunan berarsitek China tersebut adalah sebuah kediaman keturunan China yang terkenal dengan nama Tjong A Fie (1860-1921). Tjong A Fie adalah seorang pebisnis dan bankir Tionghoa yang terkenal dari Kota Medan. Tjong A Fie meninggal tahun 1921.

Memasuki Parapat, kehijauan dan kesegaran udara yang berembus semilir terasa sangat menghibur, apalagi menyaksikan kehijauan pohon-pohon karet dan perkebunan kelapa sawit menjadikan pemandangan utama yang datang silih berganti dari jendela mobil. Hamparan bukit menghijau semakin membuat rombongan tidak henti-henti memuji keindahan kota ini.

Di Parapat, wisatawan bisa melakukan berbagai kegiatan. Anda bisa berenang, naik sepeda air, dan berjalan menikmati pinggiran pantai, semuanya menyenangkan. Mengitari danau juga bisa dilakukan dengan menyewa perahu motor. Berbagai macam penginapan juga terdapat di sini, mulai dari yang sederhana sampai hotel berbintang banyak tersedia.

Tidak berbeda dengan tempat penyeberangan lain, di Dermaga Parapat pun banyak anak-anak dengan perahu dayung kecil, berteriak-teriak agar penumpang kapal melemparkan uang koin yang mereka miliki ke dalam danau. Dengan kemahirannya anak-anak bertelanjang dada ini menyelam dan menemukan koin yang dilemparkan.

Danau Toba sendiri memiliki bentuk seperti laut, karena ukurannya yang sangat besar. Tercatat, danau ini memiliki panjang kirakira 100 km dan lebar 30 km. Sementara Pulau Samosir, juga sangat luas. Dibutuhkan waktu sekitar delapan jam untuk mengelilingi pulau ini dengan mengendarai mobil.

Perjalanan dengan KM Toba Cruise 8 membutuhkan waktu lebih kurang 30 menit, air danau yang makin biru dan pemandangan menarik tidak henti-henti disajikan ketika mengarungi danau ini menuju Pulau Samosir. Deretan perkampungan dari kejauhan dan bangunan-bangunan gereja di ketinggian bukit membuat perjalanan dengan KM Toba Cruise 8 terasa romantis. Belum lagi embusan angin dan menikmati gemericik air yang menerpa sisi kapal. Dari atas kapal ini, juga terlihat Wisma Soekarno, tempat Presiden pertama Indonesia itu diasingkan, dengan desain bangunan yang dicat dengan warna putih nan megah.

Dan, 30 menit di atas KM Toba Cruise 8, rombongan mulai memasuki Pelabuhan Wisata Tomok, Kecamatan Simarindo, Medan, Sumatera Utara. Sebuah dermaga terlihat menjulang, dengan ukiran-ukiran tradisional Batak, yaitu sepasang cecak.

Bukti kerukunan suku Batak diabadikan di tugu selamat datang ini dengan ukiran timbul masing-masing sepasang pengantin dengan pakaian tradisional Simalungun, Toba Karo, Pak-Pak, Mandailing, dan tulisan besar bertuliskan Horas dan Selamat Datang di Tomok.
(Koran SI/Koran SI/tty)

sumber: http://lifestyle.okezone.com/read/2009/05/02/25/215976/menyusuri-desa-di-danau-toba
Tarzan dari sibaganding

Tarzan dari sibaganding

Sembilan tahun keluarga Umar Manik tinggal di hutan Sibaganding, tak begitu jauh dari jalan raya di daerah pariwisata Danau Toba, Sumatera Utara. Mereka bersahabat dengan segala isi hutan, terutama monyet. Mereka bahkan bisa berkomunikasi dengan kawanan monyet itu. Dengan terompet khasnya dari tanduk kerbau, Manik memanggil sahabat-sahabatnya -- para monyet -- untuk pesta makan kacang. Kenapa Manik memilih hidup di hutan? Wartawan TEMPO mendatangi keluarga yang kini justru jadi aset pariwisata itu.

Tottrowtrowuee... Marikkati tuson Hatop mijur tuson Asa mangan hita Tottrowtrowoueee... BUNYI tottrowtrowouee itu adalah suara terompet dari tanduk kerbau yang ditiup Umar Manik, 36 tahun. Suaranya panjang dan melengking tinggi bergelombang. "Ini namanya serunai perang," kata lelaki berambut panjang itu -- dan karena itu sering disebut mirip Tarzan.

Serunai perang? Tentu saja tak ada perang di hutan Sibaganding, delapan kilometer dari Parapat di tepi Danau Toba di Sumatera Utara itu. Tetapi mungkin tak berlebihan kalau Manik dijuluki Tarzan Sibaganding karena ia punya hubungan spesial dengan binatang. Menyusul tiupan terompet yang panjangnya sejengkal itu, Manik pun berteriak ke arah hutan belantara dalam bahasa Batak yang terjemahannya: "Ayo, berduyun-duyun kemari, cepat turunlah ke sini, kita mau makan, lo... tottrowtrowouee...."

Itulah yang dilakukan Manik berulang-ulang memanggil ratusan monyet yang berdiam jauh di dalam hutan lebat itu. Urat leher Manik tampak bagai kawat yang menonjol di antara telinga dan bahunya. Maklum, tiupan terompet tersebut rasanya mencapai dua atau tiga oktaf jika dibandingkan dengan dunia tarik suara. Pada mulanya suara terompet dan teriakan Manik terdengar monofoni (tunggal nada), tetapi kemudian terdengar heterofoni (beragam nada) tatkala ditingkahi jeritan tiga ekor siamang dan lolongan dua ekor anjing peliharaan Manik. Ya, bagaikan musik simfoni alam, bunyi-bunyian yang riuh hiruk-pikuk itu rasanya menggidikkan bulu tengkuk. Tetapi sebaliknya bagi ratusan monyet penghuni hutan Sibaganding seluas sekitar 200 hektare itu.

Itu adalah pertanda waktu pesta pora akan tiba. Benar saja. Setelah simfoni alam tadi meraung selama sekitar 10 menit, perlahan-lahan dahan-dahan dan ranting kayu di kawasan hutan itu tampak bergoyangan. Rupanya, sejumlah monyet berlompatan dari pohon ke pohon. Kemudian dengan sangat lucu monyet-monyet itu menuruni batang pepohonan dan berjalan ke arah suara terompet. Hanya dalam tempo setengah jam, ratusan monyet kini memenuhi dataran rendah tempat Manik digelari orang sebagai "Tarzan dari Sibaganding". Pesta pora pun dimulai.

Pelbagai makanan seperti kacang goreng dan kacang rebus maupun pisang disantap para monyet. Manik dan istrinya, Hamidah, serta lima orang anaknya mencoba seadilnya mendistribusikan makanan itu. Pengunjung juga ikut sebagai partisipan. Ada turis mancanegara, baik dari Eropa, Amerika, maupun dari Asia. Ada juga turis domestik. Semua terlibat dalam pesta sukaria kawanan monyet yang tingkahnya lucu-lucu. Taman monyet yang jaraknya sekitar satu kilometer -- dengan menyusuri jalan setapak -- dari jalan raya itu kini ikut memperkaya objek wisata Danau Toba.

Wisatawan kini tak lagi hanya berkecimpung di danau nan sejuk, atau sekadar menikmati panorama indah, atau menyaksikan pelbagai jenis kesenian Batak tradisional di Pulau Samosir di tengah danau itu, tetapi juga menikmati bagaimana Manik sekeluarga begitu bersahabat dengan pelbagai jenis satwa monyet. "Manik telah menjadi aset wisata," kata Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Cabang Simalungun, Soekiman Surip, kepada TEMPO.

Begitu akrabnya Manik sekeluarga dengan ratusan monyet itu tampak dari cara Manik memanggil monyet. Monyet diberi nama: si Jonggol, Patra, Bruno, Jait, Bohel, Ende, Ganja, Tito, dan sebagainya. Tetapi, yang berhak atas nama-nama itu hanyalah bos atau pemimpin kawanan monyet. Ada 14 kawanan monyet di situ. Uniknya, si bos mengerti kalau namanya dipanggil. Padahal, ratusan monyet itu pada dasarnya adalah monyet liar yang tidak jinak. Bukan seperti satwa yang dipelihara di kebun binatang atau di rumah-rumah yang memang sudah diberi nama. Monyet dewasa di sana jumlahnya 428 ekor.

Manik memberi nama kawasan itu Stasiun 23. Keren juga, tak kalah dengan nama studio di kota besar. Tapi apa arti 23 itu? Rupanya, angka itu adalah angka sandi untuk monyet dalam kode SDSB. Judi yang kini sudah ditutup itu dulu populer juga di sekitar Danau Toba -- tentu pembelinya bukan bangsa monyet. Nah, Manik kemudian memilih angka sandi itu dan, bagaikan menciptakan sejarah, ia membuat prasasti Stasiun 23 yang ditulisnya di sebuah batu besar. Siapakah Manik? Mengapa ia lebih akrab dengan monyet dibandingkan dengan manusia? "Saya dulu dikucilkan pemuka adat, sebelum mengasingkan diri ke sini," katanya.

Sebelumnya, ia memang berdiam di Desa Sibaganding, sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya yang sekarang. Di desa di tepi Danau Toba itu dulu ia menjalani hidup yang keras hingga kemudian sanksi hukuman adat itu pun jatuh. "Sudah nasib saya rupanya bersahabat dengan satwa," katanya seolah mengenang masa silamnya yang getir (lihat Balada Orang Usiran). Kebolehan Manik memanggil satwa monyet liar itu sesungguhnya karena kedekatan hubungan mereka yang dibina bertahun-tahun. Bukan karena ilmu tertentu semacam magic, misalnya. Kalaupun ada ilmu, itu lebih karena adanya kasih-mengasihi antara Manik dan satwa liar itu.

Manik mengibaratkannya dengan pergaulan sesama manusia. Jika sering saling menegur sapa, saling memberi hati, pastilah akan tumbuh cinta. Pada mulanya Manik dan anak-istri bahkan sangat repot menghadapi kawanan monyet itu. Sejak terusir dari desanya pada tahun 1984, mereka membangun pondok kecil di hutan itu dari papan bekas, tepas, dan seng bekas. Lokasinya memang lumayan karena, meskipun pondok itu terletak pada pertemuan dua bukit kecil, sebuah kali kecil mengalir di sela kedua paha bukit tersebut. Ia membangun pancuran sederhana dari belahan bambu tempat mereka mandi sekeluarga.

Untuk hidup sehari-hari, mereka kemudian menamam pisang, ubi, sayuran, kopi, dan cengkeh. Namun, tatkala tanaman berbuah dan sayuran bisa dipetik, tak ayal kawanan monyet pun datang mengganggu. Tanaman Manik habis dimakan dan dirusak monyet. Begitulah bertahun-tahun, hidup keluarga Manik selalu menyerempet-nyerempet berebut hasil tanaman dengan monyet. "Terkadang kami yang panen, lain kali monyet pula yang menikmati hasilnya," kata Manik. Untunglah, pada tahun 1991 seorang pencinta alam berkunjung ke lokasi pengasingan Manik.

Orang itu bernama M.H. Pasaribu, pemilik losmen kecil di Parapat. Kepada lelaki bertubuh kecil inilah Manik mengeluhkan nasib tanamannya. Tetapi di benak Pasaribu yang menyayangi binatang sejak masa kecil ini tebersit sebuah angan-angan. Yakni bagaimana jika kawanan monyet yang menyerbu tanaman Manik itu dilestarikan, misalnya diberi makanan dan jangan diburu atau dibunuh. Tak lupa Pasaribu memberikan seekor monyetnya bernama Tito. Singkat kata, Pasaribu memberi modal sebesar Rp 300 ribu sebagai pembeli makanan kawanan monyet itu seperti kacang dan pisang.

Masuk akal jika kawanan monyet itu lebih menyukai makanan yang disediakan ketimbang merusak tanaman Manik. Manik menduga, inilah insting hewan yang merasa disayangi hingga tak lagi merusak tanaman. Pasaribu, yang membayangkan lokasi itu kelak dibanjiri turis, bahkan tak segan-segan menjual rumahnya untuk modal di hutan ini. Pengorbanan Pasaribu ternyata tak sia-sia. Sejak tahun 1992, turis asing dan lokal pun berdatangan. Karena turis datang, anggaran untuk membeli makanan satwa itu datang dari turis. Caranya, Manik menjual kacang dan pisang.

Sebungkus besar kacang atau setandan pisang yang disediakan Manik dijual seharga Rp 10 ribu kepada pengunjung. Dengan rata- rata kunjungan meliputi hampir seratus orang wisatawan setiap hari, Manik sekeluarga mulai enteng memikul beban makanan kawanan monyet itu -- selain untuk makanan mereka sehari-hari. Tetapi, karena monyet jauh lebih banyak, makanan monyet sehari sama dengan makanan Manik sekeluarga selama seminggu. Celakanya, turis hanya datang pada bulan-bulan April hingga September setiap tahun, sedangkan Oktober hingga Maret adalah masa paceklik wisatawan, sesuai dengan kalender kunjungan turis ke Danau Toba. Untuk mengantisipasi hal itulah Hamidah, istri Manik, selalu menyisakan tabungan pada masa "panen" buat persediaan pada masa "paceklik".

"Jika ia tak hemat, bisa- bisa kami dan kawanan monyet itu akan kelaparan," kata Manik menunjuk istrinya, yang berkulit hitam manis berambut keriting. Pergaulan Manik dengan satwa itu pun mulai berproses. Yang mula-mula dilakukannya adalah memperkenalkan kebiasaan manusia kepada satwa itu. Misalnya, Manik sengaja membakar beberapa mercon yang bunyinya mirip ledakan pistol. Mulanya kawanan monyet itu masih kaget dan lari, tetapi lama-lama terbiasa. Ia bahkan mulai diikuti kawanan monyet itu jika bersama anak- anaknya berlari kian kemari di kawasan berbukit itu.

Bahkan, ia pernah mengundang pemusik Batak memalu gondang (semacam gendang) di situ, dan perlahan-lahan kawanan monyet itu pun mulai terbiasa. Maksudnya, terbiasa mendengar suara gondang, bukan memainkannya. Lama-kelamaan, Manik pun mulai menemukan dirinya sebagai bagian dari alam. Kadang ia suka berjalan kaki jauh ke dalam hutan. Kadang ia pulang ke pondoknya sudah malam hari. Di dalam hutan, ia tak cuma bertemu dengan monyet. Ia juga bertemu dengan isi hutan yang lain, misalnya harimau, rusa, ular, kambing hutan, kancil, landak, dan musang.

Manik mengaku punya rawa waswas juga, jangan-jangan diterkam macan. Tetapi, berkat pengalaman dengan kawanan monyet itu, ia bertahan membunuh rasa takutnya. Ia punya falsafah, kalau binatang tidak diganggu, tentunya ia juga tidak diganggu. Karena itu, ia hati-hati berjalan agar tak memijak ular. Ternyata banyak ular yang ditemuinya bergelantungan di pepohonan dan sama sekali tak mengganggunya. Demikian juga harimau ternyata melintas begitu saja tak mengganggu Manik yang melintasi hutan pedalaman. Sejak saat itu, ia semakin yakin bahwa hewan-hewan itu juga seperti manusia yang tidak akan mengganggu jika tak diganggu.

Keyakinan itu kian menancap dalam hatinya tatkala suatu malam ia bermimpi. Seorang kakek tua yang menamai dirinya Ompu Namartua Sigualon mendatangi Manik. Sang kakek ini, cerita Manik, memperkenalkan diri sebagai "raja penguasa" di hutan Sibaganding itu. Ia mengaku sebagai pemilik semua pohon, mata air, dan bahkan juga semua satwa di kawasan itu. Sang kakek itu juga mengajari Manik pelbagai adat-istiadat di dalam hutan, termasuk adat yang menyangkut larangan ataupun pantangan. Misalnya, buang air besar tak boleh di hulu kali kecil. Jika mau buang hajat di hutan, hendaklah "minta maaf" dengan mengucapkannya dalam hati seraya berseru, "Bow... bow". Juga berbagai sopan santun dalam meniti kehidupan.

Etik hidup dalam hutan itulah yang diamalkan Manik dan diajarkannya kepada anak-istrinya. Lama-kelamaan, etik itu menjadi budaya mereka sehari-hari. Sesungguhnya, dalam tatanan adat Batak hal semacam itu sangat dikenal. Menebang pohon beringin di hulu atau di daerah aliran sungai adalah hal yang sangat dipantangkan. "Bisa-bisa penghuni hutan akan mengirimkan bencana," kata orang-orang tua Batak. Etik ini tentu saja logis karena penebangan hutan memang dapat mendatangkan bencana berupa banjir dan tanah longsor. Dari pengalaman semacam itulah Manik yakin bahwa hutan dan satwa penghuninya bukanlah sesuatu yang ganas.

Ia merasa hutan bagaikan taman surga firdaus yang diciptakan Tuhan di bumi, misalnya udara yang sejuk segar tanpa polusi, air mata air yang steril bagaikan air mineral. "Kami malah tak pernah memasak air, tapi langsung menghirupnya dari air yang mengalir di sela paha bukit," kata Manik, seolah menegaskan filosofi back to nature, yang kini populer di Barat. Sebagai penganut agama samawi (Kristen), Manik pun teringat pada kisah Nabi Noah (Nuh). Yakni sang Nabi itu masih mengikutsertakan beberapa jenis hewan, sepasang-sepasang, dalam perahunya ketika air bah melanda bumi. "Itu bukti manusia harus hidup berdampingan dengan hewan," kata Manik. Ia malah tak malu-malu mengakui, banyak pelajaran ia petik dari kehidupan komunitas hewani. Baik hukum moral maupun hukum sosial sesama binatang dinilai Manik kerap sekali lebih beradab dibandingkan dengan manusia.

Dalam hal berbagi rezeki, misalnya. Katakanlah, jika sekawanan monyet mencuri ubi atau mentimun di kebun petani, biasanya bosnya yang makan lebih dahulu. Setelah itu, barulah kawanannya menyerbu. Pada saat begini, si bos mengawasi kalau-kalau pemilik kebun itu datang. Jika ada orang datang, si bos akan memberi kode hingga mereka semua berlarian masuk hutan. "Tak seperti manusia yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin," kata Manik, tertawa-tawa berderai. Bukan tak pernah ia merasakan hal-hal gaib yang tak masuk akal manusia selama ia hidup dalam hutan itu. Suatu waktu di tahun lalu, beras mereka tinggal tiga kaleng susu. Runyamnya, ia tak punya duit sepeser pun. Maklum, turis pun tak ada yang datang. Jika ia berutang pada orang, ia yakin orang tak mau memberikannya.

Entah kenapa, saat susah begitu puluhan ekor kupu-kupu tiba-tiba mengerumuninya. Tiba-tiba pula ia berpikir bahwa itu adalah isyarat tentang nomor SDSB yang akan keluar. Dengan menjual jam tangan murahannya, ia pun membeli kupon SDSB sebanyak 15 lembar dan langsung menebak angka kupu-kupu, yakni nomor 15. Angka itu memang keluar sehingga ia bisa meraup hadiah sebanyak Rp 825 ribu. Pernah pula suatu kali anak-anaknya merengek ingin makan daging. Eh, tiba-tiba seekor kijang berlari kencang dan menabrak pohon hingga kepalanya terluka dan mati. Manik menganggapnya rezeki nomplok, lalu ia menjual daging kijang itu dan membeli beberapa kilo daging untuk makanan mereka sekeluarga. "Padahal, jika sengaja diburu pun, belum tentu kijang itu didapat," kata Manik.

Manik semakin yakin bahwa hidupnya dalam hutan tersebut dibantu sang kakek, yakni Ompu Namartua Sigualon tadi. Campur tangan kekuatan gaib tersebut juga dirasakannya ketika anaknya yang paling bungsu yang lahir dalam hutan sama sekali tanpa pertolongan dokter atau bidan. "Saya langsung jadi bidannya," kata Manik. Ia seolah merasa dibimbing dan melakukannya begitu rupa sehingga bayi lahir dengan selamat. "Jika diminta ulang oleh orang lain, rasanya saya tak bisa lagi," kata Manik. Begitu juga untuk pengobatan istrinya seusai bersalin seolah ada petunjuk yang menyuruhnya untuk mengambil dedaunan dan akar pepohonan ini-itu untuk diminumkan pada istrinya.

Tak terkecuali jika ada di antara mereka yang sakit, Manik hanya meminumkan ramun-ramuan hutan, dan sembuh. Menurut dia, dedaunan dan akar dalam hutan itu ada yang bisa berfungsi sebagai obat tetapi ada juga yang berbahaya. "Daun jelatang, misalnya, hati-hati, bisa membikin tubuh terserang gatal yang luar biasa," kata Manik. Tak berarti Manik sekeluarga bergantung sepenuhnya pada hutan dan isinya. Mereka sekeluarga toh berurusan juga dengan dunia luar. Misalnya, istrinya masih berbelanja ke Parapat untuk membeli beras, lauk-pauk, dan sebagainya. Anak-anaknya juga masih bersekolah ke Sibaganding, untuk yang duduk di SD, dan ke Parapat, bagi yang sudah di SMP. Manik sendiri sesekali masih turun ke Parapat untuk bergaul dengan masyarakat.

Hal itu dengan sadar dilakukan Manik agar mereka tak terkulum sepenuhnya dengan kehidupan hutan dan satwa. Ia khawatir, jika komunikasi sosial mereka terputus total dengan masyarakat, bukan tak mustahil secara perlahan itu mengubah perilaku mereka sebagai manusia biasa. Dengan kata lain, bisa berubah mirip hewan. "Jadi, kami ini bolehlah disebut sebagai makhluk dua dunia," kata Manik. Yakni yang hidup di hutan dan sekaligus hidup di tengah-tengah masyarakat biasa. Namun, sejak masuk ke dalam hutan sembilan tahun lalu, Manik tak lagi punya KTP. Ia juga mengaku tak lagi membayar pajak karena memang tak pernah ditagih petugas.

Anehnya, jika pemilu, ia masih ikut memberikan suaranya. "Bahkan saya berkampanye untuk Golkar," katanya. Dengan bangga ia mengatakan, di desanya, Sibaganding, yang berpenduduk 60 rumah tangga itu, Golkar menang 100 persen. Toh pada Natal dan Tahun Baru 1994 lalu, ia lebih memilih merayakannya di dalam hutan bersama kawanan monyet, sahabat-sahabatnya. Bersihar Lubis 


sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/04/23/SEL/mbm.19940423.SEL470.id.html
Back To Top