milenialnews.web.id merupakan portal yang dihadirkan untuk melengkapi kebutuhan informasimasyarakat

Search This Blog

Tarzan dari sibaganding

Sembilan tahun keluarga Umar Manik tinggal di hutan Sibaganding, tak begitu jauh dari jalan raya di daerah pariwisata Danau Toba, Sumatera Utara. Mereka bersahabat dengan segala isi hutan, terutama monyet. Mereka bahkan bisa berkomunikasi dengan kawanan monyet itu. Dengan terompet khasnya dari tanduk kerbau, Manik memanggil sahabat-sahabatnya -- para monyet -- untuk pesta makan kacang. Kenapa Manik memilih hidup di hutan? Wartawan TEMPO mendatangi keluarga yang kini justru jadi aset pariwisata itu.

Tottrowtrowuee... Marikkati tuson Hatop mijur tuson Asa mangan hita Tottrowtrowoueee... BUNYI tottrowtrowouee itu adalah suara terompet dari tanduk kerbau yang ditiup Umar Manik, 36 tahun. Suaranya panjang dan melengking tinggi bergelombang. "Ini namanya serunai perang," kata lelaki berambut panjang itu -- dan karena itu sering disebut mirip Tarzan.

Serunai perang? Tentu saja tak ada perang di hutan Sibaganding, delapan kilometer dari Parapat di tepi Danau Toba di Sumatera Utara itu. Tetapi mungkin tak berlebihan kalau Manik dijuluki Tarzan Sibaganding karena ia punya hubungan spesial dengan binatang. Menyusul tiupan terompet yang panjangnya sejengkal itu, Manik pun berteriak ke arah hutan belantara dalam bahasa Batak yang terjemahannya: "Ayo, berduyun-duyun kemari, cepat turunlah ke sini, kita mau makan, lo... tottrowtrowouee...."

Itulah yang dilakukan Manik berulang-ulang memanggil ratusan monyet yang berdiam jauh di dalam hutan lebat itu. Urat leher Manik tampak bagai kawat yang menonjol di antara telinga dan bahunya. Maklum, tiupan terompet tersebut rasanya mencapai dua atau tiga oktaf jika dibandingkan dengan dunia tarik suara. Pada mulanya suara terompet dan teriakan Manik terdengar monofoni (tunggal nada), tetapi kemudian terdengar heterofoni (beragam nada) tatkala ditingkahi jeritan tiga ekor siamang dan lolongan dua ekor anjing peliharaan Manik. Ya, bagaikan musik simfoni alam, bunyi-bunyian yang riuh hiruk-pikuk itu rasanya menggidikkan bulu tengkuk. Tetapi sebaliknya bagi ratusan monyet penghuni hutan Sibaganding seluas sekitar 200 hektare itu.

Itu adalah pertanda waktu pesta pora akan tiba. Benar saja. Setelah simfoni alam tadi meraung selama sekitar 10 menit, perlahan-lahan dahan-dahan dan ranting kayu di kawasan hutan itu tampak bergoyangan. Rupanya, sejumlah monyet berlompatan dari pohon ke pohon. Kemudian dengan sangat lucu monyet-monyet itu menuruni batang pepohonan dan berjalan ke arah suara terompet. Hanya dalam tempo setengah jam, ratusan monyet kini memenuhi dataran rendah tempat Manik digelari orang sebagai "Tarzan dari Sibaganding". Pesta pora pun dimulai.

Pelbagai makanan seperti kacang goreng dan kacang rebus maupun pisang disantap para monyet. Manik dan istrinya, Hamidah, serta lima orang anaknya mencoba seadilnya mendistribusikan makanan itu. Pengunjung juga ikut sebagai partisipan. Ada turis mancanegara, baik dari Eropa, Amerika, maupun dari Asia. Ada juga turis domestik. Semua terlibat dalam pesta sukaria kawanan monyet yang tingkahnya lucu-lucu. Taman monyet yang jaraknya sekitar satu kilometer -- dengan menyusuri jalan setapak -- dari jalan raya itu kini ikut memperkaya objek wisata Danau Toba.

Wisatawan kini tak lagi hanya berkecimpung di danau nan sejuk, atau sekadar menikmati panorama indah, atau menyaksikan pelbagai jenis kesenian Batak tradisional di Pulau Samosir di tengah danau itu, tetapi juga menikmati bagaimana Manik sekeluarga begitu bersahabat dengan pelbagai jenis satwa monyet. "Manik telah menjadi aset wisata," kata Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Cabang Simalungun, Soekiman Surip, kepada TEMPO.

Begitu akrabnya Manik sekeluarga dengan ratusan monyet itu tampak dari cara Manik memanggil monyet. Monyet diberi nama: si Jonggol, Patra, Bruno, Jait, Bohel, Ende, Ganja, Tito, dan sebagainya. Tetapi, yang berhak atas nama-nama itu hanyalah bos atau pemimpin kawanan monyet. Ada 14 kawanan monyet di situ. Uniknya, si bos mengerti kalau namanya dipanggil. Padahal, ratusan monyet itu pada dasarnya adalah monyet liar yang tidak jinak. Bukan seperti satwa yang dipelihara di kebun binatang atau di rumah-rumah yang memang sudah diberi nama. Monyet dewasa di sana jumlahnya 428 ekor.

Manik memberi nama kawasan itu Stasiun 23. Keren juga, tak kalah dengan nama studio di kota besar. Tapi apa arti 23 itu? Rupanya, angka itu adalah angka sandi untuk monyet dalam kode SDSB. Judi yang kini sudah ditutup itu dulu populer juga di sekitar Danau Toba -- tentu pembelinya bukan bangsa monyet. Nah, Manik kemudian memilih angka sandi itu dan, bagaikan menciptakan sejarah, ia membuat prasasti Stasiun 23 yang ditulisnya di sebuah batu besar. Siapakah Manik? Mengapa ia lebih akrab dengan monyet dibandingkan dengan manusia? "Saya dulu dikucilkan pemuka adat, sebelum mengasingkan diri ke sini," katanya.

Sebelumnya, ia memang berdiam di Desa Sibaganding, sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya yang sekarang. Di desa di tepi Danau Toba itu dulu ia menjalani hidup yang keras hingga kemudian sanksi hukuman adat itu pun jatuh. "Sudah nasib saya rupanya bersahabat dengan satwa," katanya seolah mengenang masa silamnya yang getir (lihat Balada Orang Usiran). Kebolehan Manik memanggil satwa monyet liar itu sesungguhnya karena kedekatan hubungan mereka yang dibina bertahun-tahun. Bukan karena ilmu tertentu semacam magic, misalnya. Kalaupun ada ilmu, itu lebih karena adanya kasih-mengasihi antara Manik dan satwa liar itu.

Manik mengibaratkannya dengan pergaulan sesama manusia. Jika sering saling menegur sapa, saling memberi hati, pastilah akan tumbuh cinta. Pada mulanya Manik dan anak-istri bahkan sangat repot menghadapi kawanan monyet itu. Sejak terusir dari desanya pada tahun 1984, mereka membangun pondok kecil di hutan itu dari papan bekas, tepas, dan seng bekas. Lokasinya memang lumayan karena, meskipun pondok itu terletak pada pertemuan dua bukit kecil, sebuah kali kecil mengalir di sela kedua paha bukit tersebut. Ia membangun pancuran sederhana dari belahan bambu tempat mereka mandi sekeluarga.

Untuk hidup sehari-hari, mereka kemudian menamam pisang, ubi, sayuran, kopi, dan cengkeh. Namun, tatkala tanaman berbuah dan sayuran bisa dipetik, tak ayal kawanan monyet pun datang mengganggu. Tanaman Manik habis dimakan dan dirusak monyet. Begitulah bertahun-tahun, hidup keluarga Manik selalu menyerempet-nyerempet berebut hasil tanaman dengan monyet. "Terkadang kami yang panen, lain kali monyet pula yang menikmati hasilnya," kata Manik. Untunglah, pada tahun 1991 seorang pencinta alam berkunjung ke lokasi pengasingan Manik.

Orang itu bernama M.H. Pasaribu, pemilik losmen kecil di Parapat. Kepada lelaki bertubuh kecil inilah Manik mengeluhkan nasib tanamannya. Tetapi di benak Pasaribu yang menyayangi binatang sejak masa kecil ini tebersit sebuah angan-angan. Yakni bagaimana jika kawanan monyet yang menyerbu tanaman Manik itu dilestarikan, misalnya diberi makanan dan jangan diburu atau dibunuh. Tak lupa Pasaribu memberikan seekor monyetnya bernama Tito. Singkat kata, Pasaribu memberi modal sebesar Rp 300 ribu sebagai pembeli makanan kawanan monyet itu seperti kacang dan pisang.

Masuk akal jika kawanan monyet itu lebih menyukai makanan yang disediakan ketimbang merusak tanaman Manik. Manik menduga, inilah insting hewan yang merasa disayangi hingga tak lagi merusak tanaman. Pasaribu, yang membayangkan lokasi itu kelak dibanjiri turis, bahkan tak segan-segan menjual rumahnya untuk modal di hutan ini. Pengorbanan Pasaribu ternyata tak sia-sia. Sejak tahun 1992, turis asing dan lokal pun berdatangan. Karena turis datang, anggaran untuk membeli makanan satwa itu datang dari turis. Caranya, Manik menjual kacang dan pisang.

Sebungkus besar kacang atau setandan pisang yang disediakan Manik dijual seharga Rp 10 ribu kepada pengunjung. Dengan rata- rata kunjungan meliputi hampir seratus orang wisatawan setiap hari, Manik sekeluarga mulai enteng memikul beban makanan kawanan monyet itu -- selain untuk makanan mereka sehari-hari. Tetapi, karena monyet jauh lebih banyak, makanan monyet sehari sama dengan makanan Manik sekeluarga selama seminggu. Celakanya, turis hanya datang pada bulan-bulan April hingga September setiap tahun, sedangkan Oktober hingga Maret adalah masa paceklik wisatawan, sesuai dengan kalender kunjungan turis ke Danau Toba. Untuk mengantisipasi hal itulah Hamidah, istri Manik, selalu menyisakan tabungan pada masa "panen" buat persediaan pada masa "paceklik".

"Jika ia tak hemat, bisa- bisa kami dan kawanan monyet itu akan kelaparan," kata Manik menunjuk istrinya, yang berkulit hitam manis berambut keriting. Pergaulan Manik dengan satwa itu pun mulai berproses. Yang mula-mula dilakukannya adalah memperkenalkan kebiasaan manusia kepada satwa itu. Misalnya, Manik sengaja membakar beberapa mercon yang bunyinya mirip ledakan pistol. Mulanya kawanan monyet itu masih kaget dan lari, tetapi lama-lama terbiasa. Ia bahkan mulai diikuti kawanan monyet itu jika bersama anak- anaknya berlari kian kemari di kawasan berbukit itu.

Bahkan, ia pernah mengundang pemusik Batak memalu gondang (semacam gendang) di situ, dan perlahan-lahan kawanan monyet itu pun mulai terbiasa. Maksudnya, terbiasa mendengar suara gondang, bukan memainkannya. Lama-kelamaan, Manik pun mulai menemukan dirinya sebagai bagian dari alam. Kadang ia suka berjalan kaki jauh ke dalam hutan. Kadang ia pulang ke pondoknya sudah malam hari. Di dalam hutan, ia tak cuma bertemu dengan monyet. Ia juga bertemu dengan isi hutan yang lain, misalnya harimau, rusa, ular, kambing hutan, kancil, landak, dan musang.

Manik mengaku punya rawa waswas juga, jangan-jangan diterkam macan. Tetapi, berkat pengalaman dengan kawanan monyet itu, ia bertahan membunuh rasa takutnya. Ia punya falsafah, kalau binatang tidak diganggu, tentunya ia juga tidak diganggu. Karena itu, ia hati-hati berjalan agar tak memijak ular. Ternyata banyak ular yang ditemuinya bergelantungan di pepohonan dan sama sekali tak mengganggunya. Demikian juga harimau ternyata melintas begitu saja tak mengganggu Manik yang melintasi hutan pedalaman. Sejak saat itu, ia semakin yakin bahwa hewan-hewan itu juga seperti manusia yang tidak akan mengganggu jika tak diganggu.

Keyakinan itu kian menancap dalam hatinya tatkala suatu malam ia bermimpi. Seorang kakek tua yang menamai dirinya Ompu Namartua Sigualon mendatangi Manik. Sang kakek ini, cerita Manik, memperkenalkan diri sebagai "raja penguasa" di hutan Sibaganding itu. Ia mengaku sebagai pemilik semua pohon, mata air, dan bahkan juga semua satwa di kawasan itu. Sang kakek itu juga mengajari Manik pelbagai adat-istiadat di dalam hutan, termasuk adat yang menyangkut larangan ataupun pantangan. Misalnya, buang air besar tak boleh di hulu kali kecil. Jika mau buang hajat di hutan, hendaklah "minta maaf" dengan mengucapkannya dalam hati seraya berseru, "Bow... bow". Juga berbagai sopan santun dalam meniti kehidupan.

Etik hidup dalam hutan itulah yang diamalkan Manik dan diajarkannya kepada anak-istrinya. Lama-kelamaan, etik itu menjadi budaya mereka sehari-hari. Sesungguhnya, dalam tatanan adat Batak hal semacam itu sangat dikenal. Menebang pohon beringin di hulu atau di daerah aliran sungai adalah hal yang sangat dipantangkan. "Bisa-bisa penghuni hutan akan mengirimkan bencana," kata orang-orang tua Batak. Etik ini tentu saja logis karena penebangan hutan memang dapat mendatangkan bencana berupa banjir dan tanah longsor. Dari pengalaman semacam itulah Manik yakin bahwa hutan dan satwa penghuninya bukanlah sesuatu yang ganas.

Ia merasa hutan bagaikan taman surga firdaus yang diciptakan Tuhan di bumi, misalnya udara yang sejuk segar tanpa polusi, air mata air yang steril bagaikan air mineral. "Kami malah tak pernah memasak air, tapi langsung menghirupnya dari air yang mengalir di sela paha bukit," kata Manik, seolah menegaskan filosofi back to nature, yang kini populer di Barat. Sebagai penganut agama samawi (Kristen), Manik pun teringat pada kisah Nabi Noah (Nuh). Yakni sang Nabi itu masih mengikutsertakan beberapa jenis hewan, sepasang-sepasang, dalam perahunya ketika air bah melanda bumi. "Itu bukti manusia harus hidup berdampingan dengan hewan," kata Manik. Ia malah tak malu-malu mengakui, banyak pelajaran ia petik dari kehidupan komunitas hewani. Baik hukum moral maupun hukum sosial sesama binatang dinilai Manik kerap sekali lebih beradab dibandingkan dengan manusia.

Dalam hal berbagi rezeki, misalnya. Katakanlah, jika sekawanan monyet mencuri ubi atau mentimun di kebun petani, biasanya bosnya yang makan lebih dahulu. Setelah itu, barulah kawanannya menyerbu. Pada saat begini, si bos mengawasi kalau-kalau pemilik kebun itu datang. Jika ada orang datang, si bos akan memberi kode hingga mereka semua berlarian masuk hutan. "Tak seperti manusia yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin," kata Manik, tertawa-tawa berderai. Bukan tak pernah ia merasakan hal-hal gaib yang tak masuk akal manusia selama ia hidup dalam hutan itu. Suatu waktu di tahun lalu, beras mereka tinggal tiga kaleng susu. Runyamnya, ia tak punya duit sepeser pun. Maklum, turis pun tak ada yang datang. Jika ia berutang pada orang, ia yakin orang tak mau memberikannya.

Entah kenapa, saat susah begitu puluhan ekor kupu-kupu tiba-tiba mengerumuninya. Tiba-tiba pula ia berpikir bahwa itu adalah isyarat tentang nomor SDSB yang akan keluar. Dengan menjual jam tangan murahannya, ia pun membeli kupon SDSB sebanyak 15 lembar dan langsung menebak angka kupu-kupu, yakni nomor 15. Angka itu memang keluar sehingga ia bisa meraup hadiah sebanyak Rp 825 ribu. Pernah pula suatu kali anak-anaknya merengek ingin makan daging. Eh, tiba-tiba seekor kijang berlari kencang dan menabrak pohon hingga kepalanya terluka dan mati. Manik menganggapnya rezeki nomplok, lalu ia menjual daging kijang itu dan membeli beberapa kilo daging untuk makanan mereka sekeluarga. "Padahal, jika sengaja diburu pun, belum tentu kijang itu didapat," kata Manik.

Manik semakin yakin bahwa hidupnya dalam hutan tersebut dibantu sang kakek, yakni Ompu Namartua Sigualon tadi. Campur tangan kekuatan gaib tersebut juga dirasakannya ketika anaknya yang paling bungsu yang lahir dalam hutan sama sekali tanpa pertolongan dokter atau bidan. "Saya langsung jadi bidannya," kata Manik. Ia seolah merasa dibimbing dan melakukannya begitu rupa sehingga bayi lahir dengan selamat. "Jika diminta ulang oleh orang lain, rasanya saya tak bisa lagi," kata Manik. Begitu juga untuk pengobatan istrinya seusai bersalin seolah ada petunjuk yang menyuruhnya untuk mengambil dedaunan dan akar pepohonan ini-itu untuk diminumkan pada istrinya.

Tak terkecuali jika ada di antara mereka yang sakit, Manik hanya meminumkan ramun-ramuan hutan, dan sembuh. Menurut dia, dedaunan dan akar dalam hutan itu ada yang bisa berfungsi sebagai obat tetapi ada juga yang berbahaya. "Daun jelatang, misalnya, hati-hati, bisa membikin tubuh terserang gatal yang luar biasa," kata Manik. Tak berarti Manik sekeluarga bergantung sepenuhnya pada hutan dan isinya. Mereka sekeluarga toh berurusan juga dengan dunia luar. Misalnya, istrinya masih berbelanja ke Parapat untuk membeli beras, lauk-pauk, dan sebagainya. Anak-anaknya juga masih bersekolah ke Sibaganding, untuk yang duduk di SD, dan ke Parapat, bagi yang sudah di SMP. Manik sendiri sesekali masih turun ke Parapat untuk bergaul dengan masyarakat.

Hal itu dengan sadar dilakukan Manik agar mereka tak terkulum sepenuhnya dengan kehidupan hutan dan satwa. Ia khawatir, jika komunikasi sosial mereka terputus total dengan masyarakat, bukan tak mustahil secara perlahan itu mengubah perilaku mereka sebagai manusia biasa. Dengan kata lain, bisa berubah mirip hewan. "Jadi, kami ini bolehlah disebut sebagai makhluk dua dunia," kata Manik. Yakni yang hidup di hutan dan sekaligus hidup di tengah-tengah masyarakat biasa. Namun, sejak masuk ke dalam hutan sembilan tahun lalu, Manik tak lagi punya KTP. Ia juga mengaku tak lagi membayar pajak karena memang tak pernah ditagih petugas.

Anehnya, jika pemilu, ia masih ikut memberikan suaranya. "Bahkan saya berkampanye untuk Golkar," katanya. Dengan bangga ia mengatakan, di desanya, Sibaganding, yang berpenduduk 60 rumah tangga itu, Golkar menang 100 persen. Toh pada Natal dan Tahun Baru 1994 lalu, ia lebih memilih merayakannya di dalam hutan bersama kawanan monyet, sahabat-sahabatnya. Bersihar Lubis 


sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/04/23/SEL/mbm.19940423.SEL470.id.html
Labels: hutan, satwa, unik

Thanks for reading Tarzan dari sibaganding. Please share...!

0 Comment for "Tarzan dari sibaganding"

Back To Top