Orang Rimba Di Persimpangan Jalan
Bersama orang rimba pertengahan tahun 2010 |
Aku sendiri tidak bisa memberikan argumen. Disatu sisi aku ingin mengatakan tradisi itu akan hilang seiring dengan pesatnya laju kerusakan hutan di kawasan barat Provinsi Jambi. Namun disisi lain aku masih yakin ada tradisi yang berhasil dilestarikan, karena masih ada segelintir orang yang peduli dengan nasib mereka.
Orang rimba merupakan sebuah kelompok masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan. Hingga kini mereka mayoritas hidup di dalam hutan, dan mengandalkan hasil hutan untuk memenuhi kehidupannya, namun senantiasa menjaga kelestarian hutan. Mereka yang menjadi benteng terakhir hutan Jambi itu, semakin tercabik-cabik oleh derasnya arus pembukaan hutan yang dilakukan konglomerat.
Dalam sebuah kesempatan medio tahun 2010, saya berkesempatan berbincang dengan Temenggung Jelitai (sebagian teman menusinya Celitai). Pria bertubuh gempal, yang merupakan satu diantara ketua kelompok suku itu mengatakan dirinya sudah tak punya daya lagi mempertahankan hutan yang diwariskan dan ditugaskan nenek moyangnya untuk terus dijaga dan dilestarikan itu.
Dua bulan kemudian saya bertemua dengan Temenggung yang lain. Ia pun menungkapkan hal yang sama. Mereka semakin lama semakin terdesak. Hutan semakin habis, dan diganti dengan kebun sawit milik warga desa dan perusahaan besar yang dimiliki konglomerat Jakarta. Mereka sudah tak sanggup lagi membendung kegiatan secara besar-besaran itu.
Strategi dari pemilik modal yang melakukan investasi di hutan yang dilepaskan oleh pemerintah itu memang tidak mampu diimbangi orang rimba yang tidak pernah sekolah dan tidak bisa menuliskan namanya itu. Mereka larut dalam permainan, dan akhirnya semakin lama semakin tersingkir. Menemukan orang rimba saat ini tidak lagi harus ke hutan. Mereka kerap masuk ke kota untuk mengemis.
"Hutan sudah tidak ada lagi. Sulit dapat buruan, sulit mencari buah-buahan. Hasil hutan yang mau dijual ke desa juga sudah sulit," kata Temenggung Jelitasi saat itu. Hasil hutan yang dulu sering mereka jual berupa rotan dan jernang. Kedua komoditi itu semakin sulit didapat karena habitatnya dihabisi pengusaha kelapa sawit.
Menyempitnya hutan itu telah membuat mereka semakin sulit melaksanakan tradisinya. Ada berberapa tradisi orang rimba yang eksotis, seperti penyembuhan orang sakit, tradisi melangun (berpindah saat anggota kelompok meninggal), hingga tradisi menikah.
Orang rimba menikah pada saat musim buah. Namun pohon buah-buahan itu kini sudah semakin jarang ditemui, dan di dalam hutan tidak jelas lagi kapan musim buah. Dukun yang memberkati pasangan pengantin pun sudah kehilangan 'resep' yang akan diberikannya kepada pengantin itu. Temenggung hanya tersenyum ketika saya minta kepadanya agar memberikan kesempatan menyaksikan ritual yang menurut mereka sangat sakral itu. Tidak ada kata boleh, dan tidak ada kata tidak boleh.