milenialnews.web.id merupakan portal yang dihadirkan untuk melengkapi kebutuhan informasimasyarakat

Search This Blog

Orang Rimba Di Persimpangan Jalan

Bersama orang rimba pertengahan tahun 2010
MASIH lestarikah tradisi orang rimba 50 tahun lagi? Pertanyaan ini dilemparkan beberapa teman diskusiku dalam beberapa pekan terakhir ini. Ada yang bilang masih, tapi ada pergeseran ritual dan nilai. Ada teman yang ekstrim, langsung pesimis ada tradisi dan budaya orang rimba yang masih tersisa menjelang tahun 2100.

Aku sendiri tidak bisa memberikan argumen. Disatu sisi aku ingin mengatakan tradisi itu akan hilang seiring dengan pesatnya laju kerusakan hutan di kawasan barat Provinsi Jambi. Namun disisi lain aku masih yakin ada tradisi yang berhasil dilestarikan, karena masih ada segelintir orang yang peduli dengan nasib mereka.

Orang rimba merupakan sebuah kelompok masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan. Hingga kini mereka mayoritas hidup di dalam hutan, dan mengandalkan hasil hutan untuk memenuhi kehidupannya, namun senantiasa menjaga kelestarian hutan. Mereka yang menjadi benteng terakhir hutan Jambi itu, semakin tercabik-cabik oleh derasnya arus pembukaan hutan yang dilakukan konglomerat.

Dalam sebuah kesempatan medio tahun 2010, saya berkesempatan berbincang dengan Temenggung Jelitai (sebagian teman menusinya Celitai). Pria bertubuh gempal, yang merupakan satu diantara ketua kelompok suku itu mengatakan dirinya sudah tak punya daya lagi mempertahankan hutan yang diwariskan dan ditugaskan nenek moyangnya untuk terus dijaga dan dilestarikan itu.

Dua bulan kemudian saya bertemua dengan Temenggung yang lain. Ia pun menungkapkan hal yang sama. Mereka semakin lama semakin terdesak. Hutan semakin habis, dan diganti dengan kebun sawit milik warga desa dan perusahaan besar yang dimiliki konglomerat Jakarta. Mereka sudah tak sanggup lagi membendung kegiatan secara besar-besaran itu.

Strategi dari pemilik modal yang melakukan investasi di hutan yang dilepaskan oleh pemerintah itu memang tidak mampu diimbangi orang rimba yang tidak pernah sekolah dan tidak bisa menuliskan namanya itu. Mereka larut dalam permainan, dan akhirnya semakin lama semakin tersingkir. Menemukan orang rimba saat ini tidak lagi harus ke hutan. Mereka kerap masuk ke kota untuk mengemis.

"Hutan sudah tidak ada lagi. Sulit dapat buruan, sulit mencari buah-buahan. Hasil hutan yang mau dijual ke desa juga sudah sulit," kata Temenggung Jelitasi saat itu. Hasil hutan yang dulu sering mereka jual berupa rotan dan jernang. Kedua komoditi itu semakin sulit didapat karena habitatnya dihabisi pengusaha kelapa sawit.

Menyempitnya hutan itu telah membuat mereka semakin sulit melaksanakan tradisinya. Ada berberapa tradisi orang rimba yang eksotis, seperti penyembuhan orang sakit, tradisi melangun (berpindah saat anggota kelompok meninggal), hingga tradisi menikah.

Orang rimba menikah pada saat musim buah. Namun pohon buah-buahan itu kini sudah semakin jarang ditemui, dan di dalam hutan tidak jelas lagi kapan musim buah. Dukun yang memberkati pasangan pengantin pun sudah kehilangan 'resep' yang akan diberikannya kepada pengantin itu. Temenggung hanya tersenyum ketika saya minta kepadanya agar memberikan kesempatan menyaksikan ritual yang menurut mereka sangat sakral itu. Tidak ada kata boleh, dan tidak ada kata tidak boleh.

Pasar Tembesi, Tanah Perjuangan yang Terlupakan

Bangunan bersejarah di Pasar Tembesi
Ada satu istilah Sang Proklamator Bung Karno yang begitu mengena dan selalu diingat  bangsa ini. Jas merah yang bermakna jangan sekali-kali melupakan sejarah. Salah satu tempat sejarah perjuangan bangsa yang tak boleh dilupakan adalah  Kelurahan Pasar Tembesi, Kecamatan Muara Tembesi, Batanghari. 

MATAHARI  tepat di atas kepala ketika Tribun tiba di daerah yang berjarak sekitar 20 kilometer dari ibukota kabupaten, Muara Bulian. Nuansa tempo dulu mulai terasa ketika mulai masuk sekitar satu kilometer menuju tempat itu. Jalan menuju tempat itu dulunya merupakan jalan lintas Sumatra, namun kini jalan itu sudah dialihkan. Bus tak lagi melintasi daerah itu. 

 
Bangunan-bangunan tua dengan mudah ditemukan di sana. Bangunan tersebut berupa rumah, kantor, dan sebuah benteng. Namun tempat yang oleh masyarakat disebut benteng itu bukan seperti bangunan benteng pada umumnya, yang dilengkapi dengan meriam dan tempat untuk membidik musuh.
 

Bachtiar (91), seorang pelaku sejarah yang hingga kini bermukim di kelurahan itu menceritakan, benteng itu dulunya merupakan markas besar tentara Belanda. Ada satu kompi pasukan yang ditugaskan Belanda di bangunan berbentuk segi empat. 

"Saya dulu masih melihat tentara Belanda bertugas di sana, dan merasakan bagaimana hidup pada masa penjajahan,” katanya kepada Tribun, Selasa (18/5). Ia menyebut benteng yang menghadap ke Sungai Batang Tembesi itu dulunya menjadi tempat yang paling megah dan paling besar di sekitar wilayah itu.
 

Bukan hanya Belanda, pasukan Jepang pun pernah tinggal di benteng ini. Namun Jepang tidak bertahan lama. Begitu Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tentara Jepang pun mundur tanpa tersisa satu pun. Namun tak lama setelah itu, Belanda melalui Agresi Militer II kembali masuk ke Pasar Tembesi. 

"Benteng itu kembali dikuasai tentara Belanda, mereka mengusir tentara keamanan rakyat (kini TNI) yang mengisinya saat Jepang pergi,” ungkapnya.
 

Berbagai upaya diplomatik yang dilakukan pemimpin negara pada saat itu membuahkan hasil. Pasar Tembesi dikembalikan kepada Indonesia oleh Belanda. "Saat itu tahun 1949. Bung Hatta datang ke Pasar Tembesi ini untuk menerima penyerahan kedaulatan dari Belanda,” ucap pensiunan PNS yang sudah punya 62 cucu dan 23 cicit itu. 
 
Kenangan atas kedatangan Bung Hatta itu masih terus membekas di dalam ingatannya. "Itu kenangan yang tidak akan pernah terlupakan oleh masyarakat di sini, terutama yang melihatnya langsung,” ujarnya.
Wakil presiden pertama Indonesia itu, katanya, tiba di Pasar Muara Tembesi pada hari Jumat pagi. Ia tidak ingat lagi tanggal dan bulannya. 


Mendengar Bung Hatta akan datang, warga  berkumpul dan siap-siap menyambut kedatangannya. Mereka terus menunggu, padahal Bung Hatta sudah berada di tengah-tengah warga yang menunggu sedari pagi itu.  

"Dia (Hatta) tanya, kalian sedang menunggu siapa? Warga yang berkumpul menjawab menunggu Bung Hatta. Mereka baru tahu yang bicara dengan mereka itulah yang mereka tunggu-tunggu setelah seorang yang sudah mengenalnya langsung memeluk dan menyalaminya. Semua yang disitu sangat terkejut,” tutur pria yang masih tampak bugar di usianya yang sudah senja itu.

Mohamammad  Hatta lalu menemui pimpinan militer yang betugas di Kawedanan Muara Tembesi, dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah kontrouler.  Pasar Tembesi ini dulu menjadi pusat pemerintahan, yang ruang lingkupnya sangat luas,"  ujarnya. 

Penyerahan kedaulatan itu dilaksanakan dalam sebuah upacara yang dilaksanakan di kawedanan. Tempat itu masih terlihat utuh, dan kini digunakan sebagai kantor lembaga perwakilan masyarakat (LPM).  Penyerahan kedaulatan Indonesia atas Pulau Sumatra dilaksanakan di sini. Ini tempat yang sangat bersejarah,” sebut Bachtiar. 


Namun tempat penyerahan kedaulatan negara, yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi itu jauh dari kesan dipelihara. Bangunan yang terbuat dari kayu jenis tembesi, yang terkenal sangat kuat itu, seperti terasing di tengah era gedung-gedung tingkat. Tidak ada pemugara, jauh dari perawatan. 


Bachtiar menyebut, suatu kali legiun veteran Jambi mengunjungi tempat yang sangat dibanggakannya karena menjadi saksi bisu perjuangan itu. Apa kata legiun veteran melihat kondisi itu?  Mereka hanya bisa menangis melihat kondisi bangunan-bangunan ini. Saya kira semua bisa tahu mengapa mereka harus menangis setelah melihat kondisi bangunan itu,” ucap ayah 14 orang anak itu. (suang sitanggang)


Link: http://jambi.tribunnews.com/2011/05/20/pasar-tembesi-kebanggan-bung-hatta
Back To Top